From my desk #3


KUDUS – Kamis, 18 Desember 2014, Untuk pertama kalinya kaki ini berpijak di atas tanah Kudus, sebelumnya aku hanya tahu tentang Sunan Kudus, salah satu Wali Songo. Keberangkatan ini berawal dari pemesanan tas. Di karenakan beberapa tempat pemesanan tas yang sudah kami hubungi tidak ada yang dapat menyanggupi, kami mencoba memesan dengan cara online, dengan harapan ada yang sanggup menerima pesanan 500 tas dalam waktu 10 hari. Setelah konfirmasi masalah pengiriman yang memakan waktu 5 hari, kami memberanikan diri untuk mengambilnya sendiri ke Kudus, walaupun harus mengeluarkan dana lebih.

Mobil sewaan yang berangkat sejak pagi itu melaju, sampai tepat di depan pemakaman persis dengan  denah yang di berikan oleh Lutfi Proof. Kami jumpai beberapa toko di seberang pemakaman, seperti toko buah, bangunan, dan penjual batik yang kami tuju. “Mumpung di Kudus sekalian ke menara” usul penjual batik. Dengan lirikan tanda ajakan kepada Eros –yang pergi bersama saat itu-aku harap dia menyetujuinya. “Terimakasih mbak, mudah-mudahan di lain waktu kita bisa bertemu lagi, Assalamu’alaikum”, kami beranjak dan menuju menara yang aku belum tahu seperti apa bentuknya.

Mobil berhenti di tempat parkir. Kami telusuri jalan yang ditunjukkan oleh seorang ibu saat kami tanyakan di mana letak menara. Tampak rombongan dari pelajar hingga sesepuh, entah apa yang mereka kerjakan di balik pintu yang bentuknya seperti benteng itu. Lebih dekat lagi, tampak masjid dan menara yang berdiri kokoh di sampingnya, dengan jam putih berukuran besar di bagian atasnya. Tidak salah lagi, inilah menara yang di sebut oleh penjual batik. Ada beberapa pintu yang aku belum tahu kemana arahnya. Kami mencoba memilih pintu tengah dari ketiga buah pintu yang ada. Tepat lurus dengan pintu yang kamu masuki adalah tempat wudhu, sedangkan di samping kanan kami ialah kaki menara, sayang pintu untuk menaiku menara di tutup dengan pagar yang terkunci. Berputar menuju depan masjid dan keluar melalui pintu ketiga, tepat di depan masjid. Tinggal satu pintu paling kiri yang belum kami masuki.

Dengan langkah ragu menuju pintu -yang bertuliskan kendaraan dilarang masuk itu- kami terus melangkah lurus mengikuti arah rombongan yang berada di depan. Raut penuh tanya, mungkin itu yang bisa menggambarkan keadaan kami. Langkah tanpa arah, terhenti di sebuah padepokan yang cukup rendah, karena aku tidak dapat berdiri tegak jika berada di bawah atapnya. Beberapa orang sedang berbincang, entah apa yang mereka bicarakan, beberapa orang lainnya melepas sepatu dan kaos kaki, ada jga yang sedang berwudhu. Air apa di dalam kolam itu, kenapa ada yang memasukkan airnya ke dalam botol? Aku makin penasaran. Menatap seluruh sudut ruang tanpa atap itu, mataku terhenti pada sebuah pintu yang semua orang memasukinya. Setelah mengantri kamar mandi, aku dan Eros berencana melihat apa yang ada di balik pintu tersebut.

Suara adzan berkumandang sangat jelas, dengan suara yang begitu merdu. Mungkin karena lamanya aku tak pernah mendengar adzan yang seperti itu. Terasa kedamaian di hati. Segera kami berwudhu, dan menuju bagian depan masjid. Mungkin terlihat wajah bingung, seseorang menunjukkan kepada kami tempat sholat wanita, “Jalan terus sampai ada panah ke arah kiri” tunjuk pemuda itu dengan tangannya. Suasana yang teduh dan dingin membuat rasa damai di hati. Sejenak kami istirahat, lalu melanjutkan langkah ke arah samping kanan masjid.

Mastura di depan pintu makan sunan KudusKami berniat menanyakan beberapa hal kepada penjaga di balik pintu tersebut, tapi ketika kami sudah sampai disana tak satu orangpun yang kami temui. Tanpa pikir panjang, kami langsung masuk menuju pintu satu-satunya selain pintu masuk itu. Setelah berada di balik pintu kami sangat terkejut, tenyata disana penuh dengan pemakaman, mulai dari penggerak NU hingga makan Sunan Kudus. Kami telusuri pemakaman dengan berjalan sesuai arah jalan sampai akhirnya kami temui suara bacaan suarah Yasin terdengar jelas. Tidak salah lagi itu makan Sunan Kudus. Makan dengan ukuran sangat besar itu di tutupi kain hingga tidak nampak isi di baliknya. Pengunjung duduk dengan membaca doa di sekitar pemakaman. Sedangkan kami hanya masuk, mengelilingi, dan melihat nama-nama yang tertera di atas batu nisan.

Melihat waktu sudah menjelang sore, kami keluar dari pemakaman. “Tidak pernah aku bermimpi bisa mengunjungi tempat ini sebelumnya, tapi Allah selalu tahu di mana seharusnya kaki ini perpijak” ungkapku dalam hati. “Ya Allah berikanlah kesempatan untukku mengunjungi tempat ini di lain waktu” doaku setiap akan beranjak dari tempat yang baru pernah aku kunjungi dan memberikan kesan bagi diri.

Tinggalkan komentar